Upacara Yadnya Kasada di Bromo – Sebuah Upacara untuk Sang Hyang Widhi

Selain sebagai tempat wisata, Gunung Bromo juga dianggap sebagai tempat spiritual, terutama oleh Suku Tengger yang tinggal di sekitar gunung ini. Warga Tengger beranggapan bahwa Gunung Bromo merupakan singgasana dari Sang Hyang Widhi. Dan untuk menghormati Sang Hyang Widhi yang bersemayam di Gunung Bromo, Suku Tengger pun lalu mengadakan suatu upacara khusus bernama Yadnya Kasada.

Asal Mula

Menurut beberapa referensi, upacara Yadnya Kasada merupakan upacara adat yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Bromo. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Widhi, upacara tersebut juga dilakukan mereka sebagai bentuk permohonan kepada Snga Hyang Widhi agar memberi mereka  keselamatan, kemakmuran, serta perlindungan dari segala bala dan malapetaka.

Ada sebuah cerita rakyat yang konon melatari adanya upacara ini. Adapun cerita tersebut adalah kisah Dewi Rara Anteng. Kisah ini bermula dari runtuhnya kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya V yang merupakan ayah dari Rara Anteng.

Karena Majapahit saat itu akan runtuh, maka sejumlah rakyat kerajaan itu pun memutuskan untuk melakukan eksodus besar-besaran ke daerah lain, termasuk Rara Anteng dan suaminya, Jaka Seger.

Jika penduduk Majapahit lain pindah ke berbagai daerah seperti Bqnyuwangi, Lombok dan Bali; maka Rara Anteng dan suaminya justru pindah ke kaki Gunung Bromo. Di kaki gunung tersebut, Rara Anteng, sang suami, dan beberapa orang yang mengikutinya kemudian membuat sebuah desa di sana. Desa tersebut kelak dinamai dengan sebutan Tengger yang merupakan akronim dari nama Rara Anteng (Teng) dan Jaka Seger (Ger).

Sumber: triptrus.com

Di desa tersebut, Rara Anteng dan segenap pengikutnya hidup tenteram dan damai. Bahkan, mereka pun diberkahi hasil panen yang melimpah di sana. Sayangnya, kehidupan Dewi Rara Anteng kurang membahagiakan, karena dia dan sang suami tak kunjung mempunyai buah hati. Singkat cerita, dia dan suaminya pun memutuskan untuk bertapa di Gunung Bromo, tepatnya di kawah sekitar kawah tersebut.

Dalam pertapaan, mereka mendapat bisikan gaib, bahwa jika nanti mempunyai anak, maka anak bungsu mereka harus dikorbankan ke Gunung Bromo. Semenjak dari pertapaan tersebut, mereka pun akhirnya mempunyai 25 orang anak dan siap untuk mengorbankan anak bungsu mereka.

Karena tak tega, Dewi Rara Anteng dan suaminya tidak dapat menepati bisikan gaib tersebut dan memilih membiarkan anak bungsu mereka (Raden Hadi Kusuma) tetap hidup. Hal itu membuat sang dewa murka dan mengakibatkan meletusnya Gunung Bromo. Raden Hadi Kusuma pun terbawa oleh jilatan lahar dari letusan gunung tersebut. Sesaat setelah terjilat lahar panas, Raden Kusuma pun memberitahu kedua orangtuanya lewat bisikan gaib, bahwa dia telah dikorbankan untuk keselamatan warga Desa Tengger. Dia pun juga berujar agar warga Tengger harus melakukan upacara khusus untuk menghormati Sang Hyang Widhi.

Proses Upacara

Upacara Yadnya Kasada sendiri dilakukan dengan cara menyimpan sejumlah sesajen ke beberapa area khusus di Gunung Bromo. Upacara ini sendiri dilakukan setiap tahun, tepatnya tiap tanggal 14 di bulan Kasada. Upacara ini haruslah dilaksanakan suku Tengger, bahkan bila iklim sedang tidak mendukung sekalipun.

Selain memberi sesajen, upacara ini juga berisi beberapa kegiatan adat lainnya. Salah satunya adalah pemilihan dukun yang kelak akan memimpin Suku Tengger. Peranan dukun bagi suku tersebut amat penting. Sebab, dukun sangat berperan bagi proses pelaksanaan sejumlah ritual keagamaan yang dilakukan Suku Tengger.

Referensi

Keindahan Matahari Terbit di Bromo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *